Salah satu contoh PSN adalah Bendungan Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat. Pembangunan waduk ini telah digagas sejak masa pendudukan Belanda di Indonesia oleh W.J. van Blommestein, seorang ahli pengairan asal Belanda, guna memanfaatkan derasnya aliran Sungai Citarum untuk mengairi lahan pertanian.
Pada saat itu, di musim hujan, Sungai Citarum kerap meluap dan menyebabkan banjir di Bekasi dan Karawang, sehingga menyulitkan kegiatan pertanian. Selain itu, banjir juga kerap menggenangi jalan raya Jakarta - Cirebon, sehingga terkadang membuat para pelintas harus berhenti dan menginap di Karawang atau Cikampek.
AWAL MULA KETERLIBATAN PERUSAHAAN PRANCIS DI INDONESIA
Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1957, pemerintah pun menugaskan PLN untuk membangun bendungan dari waduk ini. PLN kemudian menunjuk Coyne et Bellier asal Prancis untuk merancang bendungan.
Proses pembangunannya juga dikerjakan oleh sebuah perusahaan Prancis yaitu CFE, singkatan dari Compagnie Francaise d’Entreprise. Presiden Soekarno mengawali peletakan batu pertama proyek yang diberi nama “Jatiluhur Multipurpose Project”, pada tahun 1957.
Namun CFE tidak pernah menuntaskan pembangunan Bendungan Jatiluhur, karena menarik diri setelah terjadi kekacauan politik di Indonesia tahun 1965 yang ditandai dengan kejatuhan Presiden Soekarno.
Penyelesaian Bendungan Jatiluhur akhirnya dilanjutkan sendiri oleh Pemerintah Indonesia. Total biaya yang dihabiskan selama 10 tahun adalah 230 juta dolar AS, atau sekitar Rp3,3 triliun menurut nilai tukar sekarang.
Anggarannya sebesar itu didapat berkat perjuangan Perdana Menteri terakhir Indonesia Ir. H. Djuanda. Untuk mengenang jasanya, Pemerintah merubah nama “Jatiluhur Multipurpose Project” menjadi Bendungan dan Pembangkit Listrik Juanda.
Keterlibatan CFE dalam pembangunan Bendungan Jatiluhur merupakan terobosan pertama yang dilakukan perusahaan Prancis di Indonesia. Demikian informasi yang tercatat pada artikel berjudul Communautés Expatriées, Entre France et Indonésie (Komunitas Ekspatriat, Antara Prancis dan Indonesia) yang diterbitkan tahun 1997. Penulisnya adalah Francois Raillon, yang banyak membahas soal Indonesia.
Ada dua hal menarik dari pembangunan Bendungan Jatiluhur yang dilakukan oleh perusahaan Prancis tersebut.
Yang pertama adalah perekrutkan orang-orang Jawa dari Kaledonia Baru untuk menjadi tenaga kerjanya. Orang-orang Jawa yang sejak akhir 1800-an menjadi pekerja perkebunan, pertambangan maupun rumah tangga di Kaledonia Baru karena perjanjian Belanda dan Prancis. Jadi dengan bekerja di Bendungan Jatiluhur mereka memiliki kesempatan untuk menengok tanah leluhur mereka.
Yang kedua adalah penggunaan Citroen 2CV sebagai kendaraan operasional para pekerjanya.
CATATAN KEBERADAAN CITROEN 2CV DI INDONESIA
Berdasarkan kliping Koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, harian Kompas pada tanggal 6 September 1978 merilis artikel yang memuat sekelumit informasi tentang Citroen 2CV dengan judul “Si Itik Jelek”.
Kutipannya sebagai berikut:
“Ingatkah mobil kecil jelek yang berkeliaran disekitar proyek jatiluhur atau di jakarta di masa pembangunan waduk raksasa itu?
Ya, kecil, jelek namanyapun di Eropa "itik jelek"!
Biarpun jelek, kendaraan ini mempunyai kekuatan, kegesitan dan ketahanan untuk lari naik turun di medan yang bertanah gembur atau berdebu halus yang sama sekali tidak bisa disebut jalan.
Kendaraan ini adalah citroen 2cv. Angka 2 untuk mesinnya yang cuma 2 silinder (sekitar 300cc) dan CV untuk moncongnya ketika membelah udara.
Dan kalau kita pernah membuntuti larinya, kita pasti tertarik pada sistem suspensinya yang membuat lantai citroen “jelek” itu tetap rata, betapapun bergejolaknya jalan yang ditempuhnya.
Demikian tulisan 40 tahun silam tentang Citroen 2CV, oleh sebab itu berbanggalah penggemar mobil klasik yang memiliki Citroen 2CV produksi sekitar tahun 1957! Bisa jadi merupakan salah satu kendaraan yang menjadi bagian dari sejarah Proyek Strategis Nasional (PSN) pertama di Indonesia.