Pola pikir tersebut berlanjut pada masa Orde Baru, sekitar tahun 1970, dimana mobil sedan memang banyak dipakai oleh pejabat tinggi negara.
Seperti mobil dinas presiden Republik Indonesia, yang pada masa itu tidak bisa jauh-jauh dari sedan, terutama keluaran Mercedes Benz. Termasuk para Menteri yang juga menggunakan mobil sedan buatan Volvo dengan beberapa serinya.
Citra “Mobil sedan identik dengan orang kaya”, langgeng hingga saat ini. Itu sebabnya, Pemerintah menerbitkan Peraturan Nomor 41 Tahun 2013, yang mengenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-BM) pada mobil sedan dengan persentase cukup tinggi.
Mobil sedan dengan kapasitas mesin dibawah 1,5 liter wajib membayar PPN-BM sebesar 30 persen. Diatasnya lagi harus membayar antara 40-75 persen. Sementara untuk jenis mobil "rakyat", maksudnya yang tidak identik dengan sedan, hanya 10 persen saja.
Contohnya seperti Toyota Kijang yang berada di segmen kendaraan penumpang, PPN-BMnya 10%, meski kemudian bertransformasi jadi kendaraan serbaguna yang tidak murah juga harganya.
Untuk menjawab berbagai kritikan, pemerintah mencoba menghadirkan mobil murah serta ramah lingkungan untuk masyarakat Indonesia, melalui program Low Cost and Green Car (LCGC).
Maka dibuatlah Peraturan Menteri Perindustrian No.33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau, yang hanya mengenakan PPnBM sebesar 3% kepada jenis mobil tersebut, dihitung dari harga jual mobilnya.
Para produsen yang tertantang, menjawabnya dengan merancang mobil dengan bodi berukuran kecil, berikut kapasitas mesin yang tergolong kecil juga.
Mobil berukuran kecil memang cocok untuk digunakan sebagai alat transportasi harian di kawasan perkotaan, karena lincah bermanuver di jalan-jalan sempit, mudah parkir di area yang terbatas serta lebih hemat bahan bakar dan mudah dirawat.
Meski baru dibuatkan peraturannya pada tahun 2013, konsep mobil murah dan hemat energi seperti LCGC ternyata pernah dikembangkan jauh sebelumnya.
Pada tahun 1992, Halim Kalla, adik bungsu Jusuf Kalla, dibawah bendera Kalla Motors yang kemudian menjadi bagian dari Kalla Group (perusahaan milik keluarga besar Jusuf Kalla), pernah membuat mobil kecil yang harganya murah dan irit bahan bakar yang konsepnya sama persis dengan mobil LCGC.
Keluarga Kalla melalui Kalla Group memang tidak bisa lepas dari sejarah bisnis otomotif di Indonesia.
PERUSAHAAN KELUARGA KALLA DAN OTOMOTIF INDONESIA
Kalla Group adalah satu kelompok usaha terbesar di kawasan timur Indonesia, dengan kendali usaha berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Saat ini Kalla Group memiliki delapan bidang usaha dengan 24 sub-unit bisnis.
Sejarah Kalla Group dimulai dari Hadji Kalla yang sejak berusia belasan tahun, Kalla sudah mulai berjualan. Saat itu, salah satu barang dagangannya adalah kain sutra. Ia menjajakannya dari kampung ke kampung di Bone.
Dalam waktu tiga tahun, Kalla sudah punya kios di Pasar Bajoe, Watampone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kios itu bernama Sederhana yang menjual kain dan barang-banang kelontong. Saat itu usia Kalla baru 15 tahun. Toko itu dimiliki Kalla sejak tahun 1938.
Sedangkan usaha di bidang otomotif, dimulai ketika Haji Kalla memperluas usahanya ke Makassar, dengan membuka bisnis transportasi dan membeli mobil truk untuk mengangkut hasil bumi dari Bone ke Makassar pada tahun 1952.
Selain itu, Haji Kalla juga mengoperasikan transportasi umum menggunakan mobil penumpang jenis station wagon yang melayani trayek Makassar-Bone, dan diberi nama Cahaya Bone.
Untuk mewadahi semua bisnisnya, Haji Kalla mendirikan NV (Namlozee Venonchap) Hadji Kalla Trading Company.
Pada tahun 1967, Haji Kalla menyerahkan pengelolaan NV. Hadji Kalla kepada anak ke-2 nya yaitu Jusuf Kalla, yang dua tahun kemudian menjadi importir mobil merek Toyota yang dirakit di Makassar dan menjadi agen traktor mini merek Kubota untuk keperluan pertanian.
Pada 1980, NV. Hadji Kalla melebarkan sayap bisnis otomotif melalui PT Makassar Raya Motor, dengan menjadi dealer mobil Daihatsu dan dealer truk Nissan Diesel. Seiring dengan program mobil nasional, NV. Hadji Kalla menjadi dealer mobil Timor dan kemudian berubah menjadi KIA.
Jusuf Kalla, juga tercatat sebagai penggagas salah satu mobil nasional Indonesia yang sangat sukses pada pertengahan tahun 1970-an yaitu Kijang.
Selanjutnya pada tahun 1992, adik bungsunya yaitu Halim Kalla menyusul dengan sebuah ide untuk membuat mobil nasional Indonesia (mobnas), berupa mobil kecil yang harganya murah dan irit bahan bakar yang diberi nama SRI-500 (Sedan Rakyat Indonesia-500).
SRI-500 MOBNAS KALLA GROUP
SRI-500 merupakan hasil rancangan Halim Kalla Bersama dengan sejumlah alumni dari State University of New York, Amerika Serikat jurusan rekayasa otomotif.
Mobil ini dikembangkan dengan komponen yang 80%-nya dibuat di dalam negeri, kecuali untuk bagian mesin berkapasitas 500cc berikut sistem transmisi otomatisnya menggunakan produk dari Lombardini.
Perusahaan pembuat mesin Lombardini, yang nama lengkapnya adalah Lombardini Srl, adalah perusahaan Italia yang merancang dan memproduksi berbagai mesin berukuran kecil dan menengah untuk kebutuhan pertanian, industri, transportasi, kelautan, dan konstruksi ringan.
Didirikan di Reggio Emilia oleh dua bersaudara Adelmo dan Rainero Lombardini pada tahun 1933 dengan nama "Lombardini Fabbrica Italiana Motori SpA". Perusahaan tersebut, saat ini menjadi bagian dari produsen Amerika Kohler Co. setelah diakuisisi.
Sebelum mendirikan Lombardini Srl, Adelmo Lombardini memang sudah sangat berpengalaman memproduksi mesin pembakaran sejak tahun 1922, pada perusahaan bernama "Società Anonima Cooperativa Metallurgica" di Novellara.
Selain mesin, perusahaan milik dua bersaudara Lombardini ini juga memproduksi produk jadi seperti perangkat pompa. Setelah Perang Dunia II, juga membuat traktor dan pengolah tanah pertanian.
Kembali ke SRI-500, sesuai rencana mobil ini diproyeksikan sebagai mobil buatan dalam negeri pertama, yang dijual dengan harga Rp 10 juta.
Namun sayangnya mobil ini tidak sampai pada tahap produksi massal dan hanya menjadi mobil prototipe.
Beberapa unitnya kemudian dipajang dan digunakan sebagai kendaraan operasional di Taman Mini Indonesia Indah.
Sementara satu unit lagi dikabarkan terparkir di kediaman Presiden Suharto, di Jalan Cendana.