Di Indonesia, ada 2 varian yang ditawarkan yaitu dengan atap yang berbeda yaitu dengan atap yang terbuat dari bahan fleksibel, seperti kain atau vinil (soft top). Serta atap yang kaku dan kokoh, biasanya terbuat dari logam atau fiberglass (hardtop).
Menariknya, orang Indonesia menyamaratakan keduanya dengan sebutan Toyota Land Cruiser Hardtop. Beberapa kalangan bahkan lebih suka menyebutnya sebagai "Hardtop" aja.
Toyota Hardtop mulai diproduksi pada 1960 hingga 1980-an. Meski usianya kini telah paruh baya, tetapi pesonanya sama sekali tidak pudar. Lantas, apa yang membuatnya melegenda?
Mobilretroklasik.com akan mengajak Anda mengulik beberapa fakta menarik tentang Toyota Land Cruiser Hardtop.
SANGGUP MELIBAS SEGALA MEDAN
Untuk golongan mobil klasik, Toyota Land Cruiser Hardtop termasuk jenis mobil yang populasinya cukup tinggi.
Anda dapat dengan mudah menjumpai mobil ini, hampir disemua jalanan kota hingga pelosok desa, dari kawasan pegunungan hingga kawasan pesisir.
Kemampuannya melibas segala medan menjadi alasan yang sangat logis, populasinya begitu berlimpah untuk golongan mobil tua.
Tak dipungkiri, Hardtop memang dirancang dengan double gardan, ground clearance tinggi dan mesin berkapasitas besar.
Racikan tersebut membuat Hardtop sanggup dibawa menyusur berbagai medan, mulai dari jalanan yang ‘normal-normal’ saja, berlumpur, berpasir hingga berkelok dengan penuh tanjakan!
Mesinnya sendiri berkapasitas cukup besar, mulai dari 3000 cc hingga 4200 cc. Hardtop tersedia dalam dua model mesin, yaitu mesin bensin yang diberi kode FJ40 dan mesin diesel dengan kode BJ40.
Hardtop BJ40, menggunakan mesin diesel 14B segaris. Mulai ditawarkan pada 1974.
Seri Hardtop dengan mesin diesel ini membuat permintaannya melejit di negeri asalnya, Jepang, karena pajak yang dikenakan lebih rendah dibandingkan dengan Hardtop FJ40 yang menggunakan mesin bensin berkapasitas 3.9 L.
Oleh karena menggunakan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar, biaya operasional Hardtop BJ40 sudah pasti lebih hemat dibandingkan dengan Hardtop FJ40 bermesin bensin.
Mesin bensin dan diesel memang memiliki sistem pembakaran yang berbeda. Hal tersebut secara langsung berpengaruh pada konsumsi bahan bakar.
Terlebih untuk Hardtop FJ40 yang menyunggi mesin besar 6 silinder plus double gardan. Praktis, Hardtop versi bensin ini pun perlu meneguk lebih banyak bahan bakar.
Belum lagi kebiasaan pengemudi Hardtop FJ40, yang kakinya sering "gatal" menginjak pedas gas dalam-dalam, untuk menikmati power mesinnya yang sangat bertenaga.
Meski hanya mengandalkan transmisi 3 kecepataan, Hardtop FJ40 sanggup dipacu hingga kecepatan 140 km/jam.
Memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan mobil-mobil masa kini, tetapi untuk ukuran mobil lama, kecepatan tersebut sudah sangat mumpuni.
PRIMADONA MODA ANGKUTAN ADVENTURE
Toyota Hardtop juga memiliki fakta menarik lainnya, yaitu menjadi primadona moda angkutan adventure.
Tak dipungkiri jika banyak tempat-tempat wisata dengan medan offroad banyak yang mengandalkan Hardtop untuk men-service para pengunjungnya.
Saat Anda berkunjung ke Bromo pada hari libur misalnya, akan tampak Hardtop berkonvoi di lautan pasir bahkan berbaris di penanjakan menuju titik pengamatan Sun Rise (Matahari Terbit).
Mesinnya yang berkapasitas besar dan ground clearance tinggi tak ayal membuat mobil ini sanggup menyeberangi lautan pasir dan menyelesaikan rute-rute sulit dalam tanjakan yang di beberapa titik kemiringannya sungguh ekstrim, bisa dikatakan mendekati 90 derajat.
Demikian halnya saat bertandang ke Merapi, selain Jeep Willys, anda bakal dihadapkan pada beberapa Toyota Land Cruiser Hardtop yang siap membawa para pelancong menyusuri lava tour-tour melewati medan-medan mengalirnya lava saat Merapi erupsi.
Medannya pun cukup sulit dilalui, berupa ngarai, lembah, tanjakan berkelok. Batu-batu sebesar bola sepak bahkan lebih besar pun acap kali dijumpai dalam advanture tour tersebut. Namun, bersama dengan Hardtop medan tersebut sanggup dilibas dengan sempurna!
Masih banyak tempat-tempat wisata lain di Indonesia yang juga menggunakan Hardtop sebagai moda angkutan pendukung, seperti di Bali juga di Pantai Parangtritis Yogyakarta.