Beberapa dekade kemudian, truk mulai digunakan di berbagai belahan dunia, termasuk Hindia Belanda (sekarang Indonesia) dengan beberapa merek yang tercatat sebagai berikut:
1.FORD
Produk buatan Amerika Serikat ini masuk ke Hindia Belanda pada tahun 1920-an, sebagai Ford Model A yang dikirim untuk memenuhi permintaan koperasi peternak sapi perah terbesar di dunia yang ada di Belanda, yaitu Cooperatve Condensfabriek Friesland (pada tahun 1922 berubah nama menjadi Royal Friesland Campina).
Ford model A buatan tahun 1927 -1931 tersebut akan digunakan sebagai armada untuk mendistribusikan "Soesoe Tjap Bendera".
2.CHEVROLET
Menjelang tahun 1930-an, merek Chevrolet mulai masuk Hindia Belanda, diimpor dari Amerika Serikat oleh NV General Motors Java Handel Maatschappij (PT Perusahaan Dagang General Motors Jawa jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia).
Meskipun terbukti sangat bermanfaat untuk mengangkut berbagai komoditas, mobil truk (bersama dengan bis) pernah “dimusuhi” oleh jawatan kereta api, karena dituduh menjadi penyebab turunnya pemasukan perusahaan tersebut di wilayah Jawa hingga 40% di tahun 1933. Padahal pada saat yang sama juga terjadi Depresi Ekonomi di seluruh Dunia yang (mungkin) menjadi pemicunya juga.
Namun hal tersebut tidak mempengaruhi popularitas Truk, seperti merek Chevrolet yang terus meroket. Untuk memenuhi permintaan yang begitu besar, pada tahun 1938 General Motors memutuskan untuk membuat pabrik perakitan pertama di Hindia Belanda. Konon kabarnya merupakan pabrik perakitan mobil terbesar di Asia Tenggara, karena luasnya mencapai 7 hektar.
Setahun kemudian pabrik ini berhasil merakit 5.732 unit truk Chevrolet yang dipasarkan tidak hanya di Hindia Belanda tetapi juga sampai ke Singapura, Malaya (Malaysia), dan Siam (Thailand).
Itu sebabnya, jumlah truk di Hindia Belanda pada tahun 1939 mencapai angka 12.860 unit, angka tersebut tercatat dalam artikel di surat kabar De Ingeniur in NI volume 6 nomor 2 (Februari 1939) yang dibuat oleh Rudolf Mrazek.
Dan mayoritas truk di Hindia Belanda adalah merek Chevrolet, demikian informasi berdasarkan tulisan di dalam buku “Man of Honor: Kehidupan, Semangat, dan Kearifan William Soeryadjaya.” karya Teguh Sri Pambudi dan Harmanto Edy Djatmiko.
Sayangnya, pada tahun 1942, pabrik perakitan milik General Motors tersebut ditutup paksa oleh tentara Jepang yang masuk ke wilayah Hindia Belanda. Jepang kemudian memanfaatkannya sebagai pabrik peralatan militer, yang hasil produksinya digunakan untuk melawan negara-negara sekutu.
Setelah Indonesia merdeka, General Motors Amerika sepertinya tidak begitu bersemangat dalam memasarkan produknya. Oleh sebab itu GM ingin melepas asetnya. Melalui perundingan dan tawar-menawar yang sangat panjang, asset NV General Motors Java Handel Maatschappij pada akhirnya dapat dibeli oleh pemerintah Republik Indonesia, melalui BIN (Bank Industri Negara) pada tahun 1950-an.
Selanjutnya nama NV General Motors Java Handel Maatschappij diganti menjadi PT Gaja Motor. General Motors kemudian menunjuk PT Gaja Motor sebagai agen tunggal merangkap perakitan produk-produk General Motors di seluruh wilayah Indonesia hingga bulan April 1955.
Dan pada tahun 1959, sama seperti kebanyakan perusahaan yang riwayat dan asetnya merupakan hasil leburan dari perusahaan Belanda, status Gaja Motor dari Perseroan Terbatas (PT) dirubah menjadi Perusahaan Negara (PN).
Namun karena investasi yang terbatas, kondisi PN Gaja Motor tidak berkembang bahkan semakin lama kondisinya semakin memprihatinkan, hingga tidak lagi dapat digunakan karena fasilitas produksinya sudah ketinggalan zaman.
GAJA MOTOR DIAKTIFKAN KEMBALI OLEH ASTRA
Pada era tahun 1965, perekonomian Indonesia menghadapi kondisi yang sangat buruk bahkan berada diambang kebangkrutan. Inflasi yang membubung tinggi hingga 600 persen juga membuat daya beli masyarakat melemah, akibatnya banyak perusahaan yang pailit.
Namun setelah keluarnya Supersemar (surat Presiden Soekarno tertangggal 11 Maret 1966), yang memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil berbagai tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan setelah peristiwa G30S PKI, dunia usaha di Indonesia mulai bangkit.
Salah satu perusahaan yang secara cepat dan langsung mendapatkan keuntungan dari perubahan tersebut adalah Astra. Perusahaan ini memang sudah sejak tahun 1940-an dekat dengan Letnan Jenderal Soeharto, karena banyak membantu memasok logistik bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia termasuk pasukan yang dipimpin oleh Soeharto.
Pemilik Astra yaitu William Soeryadjaya juga mendapatkan banyak keuntungan dari hubungan pribadinya dengan Sumitro Djojohadikusumo, yang telah lama menjadi ekonom terkemuka di negara ini
Oleh sebab itu, dikutip dari laman encyclopedia.com dengan judul “PT Astra International Tbk”, pada tahun 1967 Pemerintah Indonesia memberikan lisensi yang sangat berharga (karena yang didukung juga oleh pemerintah Amerika Serikat) kepada Astra, untuk mengimpor generator listrik yang dibuat oleh General Motors Corporation (GM).
Namun bisnis tersebut tidak berjalan lancar karena birokrasi yang berbelit-belit. Sebagai gantinya, Astra mengganti pesanan generatornya dengan armada 800 truk Chevrolet yang diimpor dalam kondisi Completely Knock Down (CKD), yang nantinya dijual kepada pemerintah Indonesia.
Karena Astra tidak memiliki pabrik perakitan, Pemerintah menawarkan Astra untuk menggunakan aset PN Gaja Motor yang terbengkalai. Astra kemudian setuju, dengan syarat dapat memiliki 60 persen saham Gaja Motor.
Pemerintah pun setuju, akhirnya pada tahun 1969, Astra membayar saham tersebut dengan nilai lebih dari $1 juta. Setelah resmi berpindah tangan, Astra merubah statusnya dari Perusahaan Negara menjadi Perseroan Terbatas (PT). Pada saat Ejaan yang Disempurnakan (EYD) diberlakukan pada 23 Mei 1972, namanya dirubah menjadi PT Gaya Motor. Langkah ini membawa Astra menjadi mitra pemerintah Indonesia.
Awalnya, dengan menguasai Gaya Motor, Astra berharap untuk dapat terus beroperasi di bawah hubungan perakitan dan distribusi eksklusif dengan Chevrolet.
Namun, kontrak tersebut ditolak oleh General Motors. Sebaliknya, Astra mulai merakit mobil truk untuk produsen mobil lain yaitu Toyota Motor Corporation, yang saat itu sedang berupaya memasuki pasar Indonesia.